Kamis, 16 September 2010

Desain Kurikulum

BAB I
PENDAHULUAN


A.    PENGERTIAN DESAIN KURIKULUM
Desain kurikulum adalah menyusun rancangan atau menyusun model kurikulum  sesuai visi dan misi sekolah.
Tugas dan peran seseorang desainer kurikulum  menentukan bahan dan cara mengembangkan kurikulum yang baru sesuai dengan kondisi lingkungan pendidikan.
Beberapa ahli merumuskan macam – macam desain kurikulum antara lain : 
    Eisner dan Vallance (1974)  membagi desain menjadi lima jenis yaitu ;
1.    Pengembangan proses kognitif
2.    Kurikulum sebagai teknologi
3.    Kurikulum aktualisasi diri
4.    Kurikulum rekonstruksi social
5.    Kurikulum rasionalisasi akademis
    Alexander dan Lewis (1981) membagi desain kedalam enam jenis yaitu :
1.    Kurikulumdisiplin
2.    Kurikulum Teknologi
3.    Kurikulum proses
4.    Kurikulum sebagai fungsi social
5.    Kurikulum yang bersifat minat individu
    Longstreet dan Shane (1993) membagi desain kurikulum menjadi empat jenis yaitu :
1.    Berorientasi pada masyarakat
2.    Berorientasi pada anak
3.    Berorientasi pada pengetahuan
4.    Kurikulum yang bersifat ekletik
Manakala kita saji desain kurikulum yang dikemukakan oleh para ahli kurikulum itu memiliki kesamaan – kesamaan  tertentu. 

B.    RUMUSAN MASALAH
Dari pembagian desain kurikulum yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, maka kita dapat membuat rumusan masalahnya adalah :
    Menjelaskan beberapa jenis desain kurikulum yang dikemukakan oleh para ahli.
    Mengkaji masalah masalah dalam mendesain kurikulum
    Mengkaji hambatan – hambatan dalam mendesain kurikulum baik secara umum dan khusus.

C.    TUJUAN
Dengan adanya pembegian desain kurikulum, maka dapat kita ambil tujuan memahami desain kurikulum yaitu :
    Mengetahui beberapa jenis desain kurikulum yang dikemukkan oleh para ahli.
    Mengetahui masalah masalah dalam mendesain kurikulum
    Mengetahui hambatan – hambatan dalam mendesain kurikulum baik secara umum dan khusus.















BAB II
 ISI

A.    JENIS JENIS DESAIN KURIKULUM
a.    Desain kurikulum disiplin Ilmu,
Rancangan ini berpusat pada pengetahuan yang dirancang berdasarkan disiplin ilmu yang mengembangkan intelektual siswa,
Desain ini berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa ( kognitif) melalui latihan atau gagasan dan melakukan proses penelitian ilmiah.
Pengembangan kurikulum menyusun bagaimana melakukan pengkajian materi pembelajaran melalui proses penelitian ilmiah. Dalam implementasinya digunakan  strategi Ekspositori, dimana guru memberikan gagasan atau secara langsung dan siswa dituntut untuk dapat memahami, mencari landasan logika dan dukungan fakta – fakta yang dianggap relevan. Kemudian dilakukan evaluasi dengan cara bervariasi sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Contoh kurikulumnya adalah MACOS (Kurikulum subjek akademis) yang dirancang untuk memperbaiki proses pengajaran ilmu social dan humanitis. Tujuan kurikulum ini adalah membangkitkan intelektual dan penghargaan akan kemampuan sendiri melalui analisis dengan cara sederhana.
Terdapat tiga bentuk organisasi kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu, yaitu :
    Subject centered kurikulum (bahan atau isi kurikulum dibuat terpisah – pisah).
    Corelated kurikulum (menggabungkan mat pelajaran yang sejenis sehingga menjadi suatu bidang studi)
    Integrated kurikulum (menganalisis fakta dan memecahkan masalah dan mengatur sikap,emosi atau keterampilan si anak)


b.    Desain kurikulum berorientasi masyarakat,
Tujuan desain ini adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat, jadi dasar pembentukan kurikulum berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Contoh kurikulum ini Fundamental of curriculum yang merumuskan  desain kelompok sosial untuk dijadikan pengalaman belajar si anak di sekolah.
Terdapat tiga prespective pada desain ini yaitu ;
    Prespektif Status Quo digunakan untuk melestarikan budaya masyarakat
    Perspektif Pembaharuan digunakan untuk lebih meningkatkan kualitas masyarakat itu sendiri, sehingga reformis menghendaki peran serta masyarakat secara total dalam proses pendidikan.
    Perspektif masa depan digunakan untuk mengembangkan hubungan kurikulum dengan kehidupan social, politik, ekonomi, masyarakat. Model ini mementingkan social daripada kepentingan individu.

c.    Desain kurikulum berorientasi pada siswa
Asumsi yang mendasari desain ini adalah pendidikan di selenggarakan untuk membantu anak didik. Oleh karena itu pendidikan tidak boleh terlepas dari kehidupan anak didik.
Dalam Desain Orientasi Pada Siswa ini Alice Crow (Crow & Crow, 1955) Menyarankan hal –hal sebagai berikut :
    Kurikulum harus disesuaikan dengan perkembangan anak,
    Isi kurikulum harus mencakup keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dianggap berguna untuk masa sekarang dan masa yang akan dating,
    Anak hendaknya ditempatkan sebagai subjek belajar yang berusaha untuk belajar sendiri,
    Diusahakan apa yang dipelajari siswa sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat perkembangan anak.



Perspektif desain ini ada dua yaitu :
1.    Kehidupan anak di masyarakat
2.    Psikologi

d.    Desain Kurikulum Teknologis
Model desain ini difokuskan kepada efektivitas program, metode, dan bahan bahan yang dianggap dapat mencapai tujuan.
Teknologi mempengaruhi kurikulum dapat dilihat dari dua sisi, yaitu :
1.    Penerapan hasil- hasil teknologi
Penerapan teknologi  maksudnya menggunakan media atau alat dalam kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pembelajaran. Dengan penerapan ini diasumsikan pembelajaran akan lebih berhasil secara efektif dan efisien. Contohnya gunakan computer sebagai media, pengajaran melalui radio, pelajaran bahasa inggris dengan menggunakan kaset, dimana setiap tahapan pembelajaran sudah memiliki tujuan sampai evaluasi keberhasilannya.

2.    Penerapan teknologi sebagai suatu sistem.
Teknologi sebagai suatu sistem menekankan kepada penyusunan program pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sistem tujuan. Semakin tujuan itu jelas dan spesifik, maka semakin jelas pula merancang proses pembelajaran da menetapkan kriteria keberhasilan.

Menurut Mc Neil (1990)  kurikulum teknologis ditekankan kepada pencapaian perubahan tingkah laku. Dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai maka kurikulum teknologi  memiliki ciri –ciri :
1.    pengorganisasian kurikulum berpatokan pada rumusan tujuan,
2.    Rumusan kurikulum disusun secara berjenjang
3.    Materi kurikulum disusun mulai dari yang sederhana sampai kompleks.
Selanjutnya untuk efektivitas dan keberhasilan kurikulum implementasi kurikulum teknologi hendaklah memperhatikan  prinsip – prinsip sebagai berikut :
1.    Kesadaran akan tujuan, siswa perlu memahami bahwa pembelajaran diarahkan untuk mencapai tujuan.
2.    Memberi kesempatan kepada siswa untuk mempraktikan kecakapan sesuai dengan tujuan
3.    Siswa perlu diberi tahu hasil yang telah dicapai. Dengan demikian siswa dapat mengetahui apakah pembelajaran sudah dianggap cukup atau masih perlu bantuan.


    PERMASALAHAN DESAIN KURIKULUM
Dalam pengembangan kurikulum banyak sekali masalah yang dihadapi, yang memerlukan pertimbangan dan pemecahan tersendiri. Semua masalah tersebut disebabkan kondisi yang ada, yang disesuaikan dengan tuntutan dan prinsip kebutuhan yang belum terpenuhi.
Masalah – masalah ini dibagi menjadi masalah umum dan khusus, masalah umum antara lain : bidang cakupan, relevansi, keseimbangan, integrasi, sekuens, kontiniutas, artikulasi, kemampuan transfer.
a.    Bidang cakupan (scope)
Luasnya kurikulum yang didalamnya mencakup berbagai pengalaman belajar, aktivitas kegiatan pembelajaran. Masalah yang dihadapi pada scope ini adalah pengorganisasian dalam berbagai elemen, pesatnya perkembangan IPTEK, penetapan prosedur kerja, pengambilan keputusan.

b.    Relevansi
Relevansi ini dihubungkan dalam masalah dunia kerja, kependudukan, hubungan antar pribadi, dan berbagai aktivitas mesyarakat yang lain.



c.    Keseimbangan
Keseimbangan dalam kurikulum dapat dipertimbangkan  dalam beberapa variabel seperti yng dikemukakan oleh Oliva , antara lain :
•    Kurikulum yang berpusat pada siswa dan berpusat pada pelajaran
•    Kebutuhan siswa dan kebutuhan masyarakat,
•    Pendidikan umum dan pendidikan khusus
•    Luas dan dalamnya kurikulum,
•    Kognitif, apektif dan psikomotorik,
•    Pendidikan individual dan pendidikan masyarakat
•    Inovasi dan Tradisi,
•    Kebutuhan akademis yang diharapkan,
•    Metode, pengalaman, dan strategi,
•    Dunia kerja dan permainan,
•    Disiplin ilmu.

Dari beberapa variabel diatas maka diperlukan keseimbangan dalam pengembangan kurikulum yang harus diperhatikan secara maksimal.

d.    Integrasi
Integrasi diartikan dengan memadukan, menggabungkan, dan menyatukan  antar disiplin ilmu. Para perencana kurikulum harus memutuskan pengorganisasian yang akan digunakan, apakah korelasi atau integrasi mata pelajaran.

e.    Sekuens
Sekuens Merupakan urutan pengelompokan dan atau langkah – langkah yang dilakukan dalm perencanaan kurikulum. Dalam proses sekuens para pengembang kurikulum harus memperhatikan tingkat kedewasaan, latar belakang, pengalaman, tingkat kematangan dan ketertarikan atau minat siswa, tingkat kegunaan dan kesukaran materi pelajaran.
f.    Kontiniutas
Kontiniutas adalah pengulangan terencana tentang isi untuk mencapai keberhasilan. Pengulangan yang digunakan adalah pengulangan yang kompleks dan canggih dalm upaya untuk peningkatan hasil belajar.

g.    Artikulasi
Artikulasi diartikan sebagai pertautan antara kelompok elemen atau unsure lintas dan tingkatan sekolah. Contohnya pembelajaran yang dilakukan secara bertahap mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Yang merupakan rencana sekuens unit unit materi pelajaran.

h.    Kemampuan transfer.
Kemampuan transfer maksudnya apapun yang dipelajari di sekolah seharusnya dapat diaplikasikan diluar sekolah, dengan demikian proses pendidikan di sekolah harus dapat memperkaya kehidupan siswa.
Para ahli pendidikan seperti Thorndike, Daniel dan L.N Tanner serta Taba menyepakati bahwa guru hendak mentransfer nilai –nilai tersebut, dan para pengembang kurikulum harus menentukan tujuan, menyeleksi isi, dan memilih strategi pengajaran yang mengarah pada pendayagunaan proses transfer secara maksimal.

Sedangkan masalah khusus pengembangan adalah : Tujuan hasil kurikulum yang diharapkan oleh sekolah, Masalah isi dan organisasi kurikulum, Proses penyusunan dan revisi kurikulum.
 Santoso Hamijoyo meyebutkan 6 hal yang melandasi proses dan tujusn kurikulum harus diperhitungkan, yaitu :a, filsafat (b) Lingkungan sosiokultural (c) Perkembangan anak, fisik, psikologis, maupun social (d) perkembangan pengetahuan, (e)kebutuhan akan tenaga kerja (f) Kekuatan yang ada.
Bruner menandaskan bahwa dalam perubahan kurikulum hendaknya dipikirkan juga metode mengajarnya (a) menambah potensil intelektual anak, (b) memberi kepuasan pribadi (c) memberi kepuasan untuk penemuan heuristic (d) Membantu proses mengingat. Hal ini dikuatkan juga oleh pernyataan J.R Wringht (1966) yang menekankan perlunya guru kelas diundang dan diajak berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pengembangan/ perbaikan  kurikulum.
Hambatan – hambatan dalam pengembangan kurikulum khususnya pada guru. Guru yang kurang berpartisipasi dalam mendesain pengembangan kurikulum karena kurangnya waktu, kekurangkesesuaian pendapat antara guru dengan sekolah atau administrator karena  kemampuan dan pengetahuan guru itu sendiri, hambatan yang lain datangnya dari masyarakat baik dalam pembiayaan maupun umpan balik dari masyarakat terhadap pendidikan dan kurikulum yang berlangsung.
Fungsi pendidikan dahulu dan sekarang sudah berubah, dalam masyarakat dahulu persekolahan berfungsi untuk memelihara dan meneruskan nilai nilai yang ada sejak dahulu. Sedangkan masa sekarang pendidikan sekarang didasarkan pada filsafat pendidikan yang jelas, masalah atau topik tertentu sehingga pendidikan yang didapatkan berdasarkan pengalaman sendiri dan diharapkan dapat diaplikasikan secara langsung kepada masyarakat.

KTSP

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Menurut UU Sisdiknas tahun 2003 pasal 2 ayat 1, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis dan mandiri.
Sistem pendidikan nasional senantiasa harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangannya yang terjadi baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Salah satu komponen penting dari sistem pendidikan adalah kurikulum. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. (PP RI No. 19 tahun 2005 pasal 1). Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum yang disusun oleh satuan pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Seiring dengan perjalanan waktu dan teknologi, dalam dunia pendidikan mengalami pembaharuan pengembangan kurikulum yang semula menggunakan pendekatan kompetensi (kurikulum 2004) yang kemudian disempurnakan menjadi model KTSP (kurikulum 2006). Model KTSP ini merupakan model pengembangan kurikulum yang disusun dan dilaksanakan di masing – masing satuan pendidikan atau sekolah yang bersifat desentralisasi, dan diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia (SNP pasal 1 ayat 1).
Model KTSP menuntut kreativitas untuk menyusun model pendidikan yang sesuai dengan kondisi lokal. Tetapi pada prinsipnya, model KTSP bukan kurikulum baru hanya modifikasi dari kurikulum yang sudah ada. Meskipun bukan kurikulumn baru tetap saja akan merepotkan guru serta tenaga kependidikan di lapangan bagi mereka yang belum memiliki wawasan KTSP.
Adapun payung hukum KTSP antara lain : (1) UU no. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (2) PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, (3) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI), (4) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan (SKL), (5) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 24 tentang pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP (http//www.puskur.or.id).
Panduan yang disusun oleh BSNP terdiri atas dua bagian, pertama panduan umum yang memuat ketentuan umum pengembangan kurikulum yang dapat diterapkan pada satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang terdapat dalam SI (Standar isi) dan SKL (Standar Kompetensi Lulusan). Kedua, model KTSP dengan mengacu pada SI dan SKL dengan berpedoman pada panduan umum yang dikembangkan BSNP.
Panduan pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan kepada peserta didik untuk : (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk mampu bersama dan berguna untuk orang lain dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan (PAIKEM). Dengan mengacu pada panduan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang dibuat oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sekolah bersama komite sekolah dapat bersama – sama merancang, mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi dan potensi keunggulan lokal yang bisa dimunculkan sekolah. Walaupun setiap sekolah diberi kewenangan mengembangkan kurikulum sendiri, guru di lingkungan yang relatif sama secara geografis dan kultural masih perlu menyamakan persepsi, menyesuaikan dengan kondisi yang ada dalam menyusun dan mengembangkan indikator sebagai batasan keluasan dan kedalaman materi yang dapat menunjang pencapaian sebuah kompetensi. (http//www.pikiranrakyat.com)
KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dibawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan atau kantor Departemen Agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah.

B. Tujuan
    Adapun tujuannya adalah:
1.    Menjelaskan macam-macam model pengembangan kurikulum
2.    Menjelaskan pengertian model KTSP
3.    Menjelaskan tujuan dari kurikulum 2006 dengan model KTSP
4.    Menjelaskan landasan pengembangan model KTSP
5.    Menjelaskan langkah-langkah Pengembangan Model KTSP di Sekolah
















BAB II
Pembahasan

A. Pengembangan Kurikulum                         
1. Model Pengembangan Kurikulum
Pemilihan model pengembangan kurikulum didasarkan atas kelebihan dan kebaikan-kebaikannya dan kemungkinan pencapaian hasil yang optimal serta kesesuaian dengan sistem pendidikan dan sistem pengelolaan pendidikan yang dianut dan model konsep pendidikan yang digunakan. Ada delapan model pengembangan kurikulum.
Pertama, the administrative model (top down) yang digunakan dalam sistem pengelolaan kurikulum yang bersifat sentralistik. Inisiatif dan gagasan pengembangan datang dari administrator pendidikan, menggunakan prosedur administrasi. Administrator tersebut membentuk tim pengarah pengembangan kurikulum untuk merumuskan konsep, dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan dan strategi dalam pengembangan kurikulum. Setelah mendapatkan pengkajian, administrator menyusun tim kerja untuk menyusun kurikulum yang lebih operasional kemudian dikaji ulang oleh tim pengarah dan para ahli yang berkompeten. Setelah disempurnakan dan dinilai baik, administrator menetapkan berlakunya kurikulum tersebut bagi sekolah.
Kedua, the grass roots model bahwa inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum datang dari bawah yaitu guru-guru atau sekolah. Model ini digunakan dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model ini, sekelompok guru atau  keseluruhan guru di sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum berkenaan dengan satu atau beberapa bidang studi atau seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Pengembangan kurikulum ini memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan.
Ketiga, Beauchamp’s sistem. Model ini mengemukakan lima hal dalam pengembangan kurikulum yaitu menetapkan lingkup wilayah yang dicakup oleh kurikulum tersebut, personalia, organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum, implementasi kurikulum serta evaluasi kurikulum.
Keempat, the demonstration model, bersifat grass roots, datang dari bawah. Model ini diprakarsai oleh sekelompok guru bekerjasama dengan ahli yang bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum. Model ini mencakup suatu atau beberapa sekolah, suatu komponen kurikulum atau mencakup keseluruhan komponen kurikulum.
Kelima,Taba’s inverted model. Ada lima langkah dalam pengembangan kurikulum model ini yaitu mengadakan unit-unit eksperimen bersama guru-guru, menguji unit eksperimen, mengadakan revisi dan konsolidasi, pengembanganan keseluruhan kerangka kukulum serta implementasi dan diseminasi.
Keenam, Roger’s interpersonal relations model. Ada empat  langkahpengembangan kurikulum model ini yaitu pemilihan target dari sistem pendidikan, partisipasi guru dalam pengalaman kelompok yang intensif, pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk satu unit pelajaran serta partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok.
Ketujuh, the systematic action-research model. Model ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum merupakan perubahan sosial. Sesuai dengan asumsi tersebut, model ini menekankan pada hubungan insani, sekolah, dan organisasi masyarakat serta wibawa dari pengetahuan profesional. Kurikulum dikembangkan dalam konteks harapan warga masyarakat, orang tua, tokoh masyarakat, siswa, guru dan lain-lain, mempunyai pandangan tentang bagaimana pendidikan, bagaimana anak belajar dan bagaimana peranan kurikulum dalam pendidikan dan pengajaran.
Kedelapan, emerging technical models yaitu model kurikulum yang dipengaruhi oleh perkembangan bidang teknologi dan ilmupengetahuan serta nilai-nilai efisie nsi efektifitas dalam bisnis. KTSP sebagai model pengembangan kurikulum merupakan kurikulum yang sentralistik. Setiap satuan pendidikan diharuskan melaksanakan dan mengimplementasikan sesuai juklak dan juknis yang disusun pemerintah pusat. Tugas guru dalam kurikulum yang sentralistik ini adalah menjabarkan kurikulum yang dibuat oleh puskur / BSNP ke dalam satuan pelajaran sesuai dengan mata pelajaran masing-masing.


B. Kurikulum 2006 dengan Model KTSP
1. Pengertian Model KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ) merupakan model pengembangan kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan yang bersifat desentralisasi ( SNP pasal 1 ayat 15 ). Penyusunan KTSP yang dilandasi oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, hendaknya tetap mengacu pada standar nasional pendidikan nasional yang mencakup standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar itu yaitu standar isi dan standar kompetensi lulusan merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum. Sedangkan menurut E. Mulyasa ( 2006:20 ) KTSP merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif dan berprestasi. KTSP merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum yang memberikan otonomi luas pada setiap satuan pendidikan dan pelibatan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajar mengajar di sekolah. Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
Pada sistem KTSP, sekolah memiliki “ full authority and responsibility “ dalam menetapkan kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan visi, misi dan tujuan satuan pendidikan. Untuk mewujudkan semua itu, sekolah dituntut untuk mengembangkan strategi, menentukan prioritas, mengendalikan pemberdayaan berbagai potensi sekolah dan lingkungan sekitar, serta mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat dan pemerintah.

2. Tujuan Kurikulum 2006 dengan Model KTSP
Menurut E. Mulyasa ( 2006 : 22 ), secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian otonomi kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum. Sedangkan secara khusus tujuan diterapkannya model KTSP adalah :
Pertama, meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan  memberdayakan sumber daya yang tersedia.
Kedua, meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.
Ketiga, meningkatkan kompetisi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai. Dengan memahami tujuan di atas, model KTSP dapat dipandang sebagai suatu pola pendekatan baru dalam pengembangan kurikulum dalam konteks otonomi daerah yang sedang digulirkan dewasa ini. KTSP merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan dan kebutuhan masing-masing. Otonomi dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja guru dan staf sekolah, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan khususnya kurikulum.
 Adapun alasan mengapa kurikulum 2006 menggunakan model KTSP perlu diterapkan oleh satuan pendidikan yaitu pertama, sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan lembaganya. Kedua, sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, sehingga dapat dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Ketiga, sekolah dapat mengambil keputusan sendiri untuk memenuhi kebutuhannya karena tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya. Keempat, keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat, serta lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat. Kelima, sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masingmasing kepada pemerintah, orang tua, peserta didik dan masyarakat pada umumnya sehingga dia akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran KTSP. Keenam, sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Ketujuh, sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat serta mengakomodasinya dalam KTSP.

3. Landasan Pengembangan Model KTSP
Model KTSP ini dikembangkan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan  potensi dan karakteristik daerah, serta sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik. Sedangkan sekolah dan komite sekolah mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan di bawah supervisi dinas pendidikan kabupaten / kota dan departemen agama yang bertanggung jawab di bidang pendidikan.
Adapun pengembangan KTSP dilandasi oleh undang-undang dan peraturan pemerintah sebagai berikut:
a.    Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Ketentuan yang mengatur KTSP adalah pasal 1 ayat (19), pasal 18 ayat (1),(2),(3),(4); pasal 32 ayat (1),(2),(3); pasal 35 ayat (2); pasal 36 ayat (1),(2),(3),(4); pasal 37 ayat (1),(2),(3) dan pasal 38 ayat (1),(2).
b.    Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Ketnetuan yang mengatur KTSP adalah pasal 1 ayat (5),(13),(14),(15); pasal 5 ayat (1),(2); pasal 6 ayat (6); pasal 7 ayat (1),(2),(3),(4),(5),(6),(7),(8); pasal 8 ayat (1),(2),(3;) pasal 10 ayat (1),(2),(3); pasal 11 ayat (1),(2),(3),(4); pasal 13 ayat (1),(2),(3),(4); pasal 14 ayat (1),(2),(3); pasal 16 ayat (1),(2),(3),(4),(5); pasal 17 ayat (1),(2); pasal 18 ayat (1),(2),(3);dan pasal 20
c.    Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi yang mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
d.    Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan yang merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
e.    Permendiknas No. 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23.
Sebagai upaya tindak lanjut dari undang-undang dan peraturan tersebut, maka setiap satuan pendidikan ( sekolah ) perlu menyusun model kurikulum KTSP dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi satuan pendidikan ( sekolah ), potensi daerah / karakteristik daerah, serta sosial budaya masyarakat setempat.               
C. Langkah-langkah Pengembangan Model KTSP di Sekolah
Model yang dikembangkan dalam KTSP setidak-tidaknya mengandung komponen tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan KTSP dan kalender pendidikan.
Model pengembangan KTSP memiliki lima langkah, yaitu diawali dengan menganalisis dan merumuskan :
1.    Dasar pemikiran, landasan dan profil pada tiap tingkatan satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK) yang meliputi : tujuan nasional jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah, visi dan misi pada tiap tingkat satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK), serta tujuan lembaga pada tingat pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK).
2.    Standart kompetensi tingkat satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK), yang meliputi : standart kompetensi lulusan (SKL-SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK), standart kompetensi kelompok mata pelajaran (SK-KMP. (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK). Standart kompetensi lulusan mata pelajaran (SKL-MP SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK) serta standart kompetensi serta kompetensi dasar mata pelajaran (SK-KD MP SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK)
3.    Struktur kurikulum dan pengaturan beban belajar, yang meliputi struktur nama-nama mata pelajaran (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK), muatan lokal, pengembangan diri, pengintegrasian kecakapan kehidupan dan pengaturan beban belajar di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK.
4.    System evaluasi hasil belajar, yang meliputi criteria ketuntasan belajar minimal (KKM) atau KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), standart penilaian, standart kelulusan, standart pindah sekolah (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK).
5.    Evaluasi dan pengembangan KTSP secara berkelanjutan, yang meliputi review, revisi, dan pengembangan KTSP SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK
Melalui tahap-tahap atau langkah-langkah pengembangan tersebut model KTSP yang disusun oleh dan dilaksanakan di sekolah/madrasah secara lengkap dapat dihasilkan draf KTSP yang terdiri atas sepuluh, yang berisi tentang hal-hal berikut :
Dasar Pemikiran, Landasan dan Profil Sekolah/Madrasah.
Standart Kompetensi.
Struktur Kurikulum & Pengaturan Beban Belajar.
Pengembangan Muatan Lokal.
Kegiatan Pengembangan Diri.
Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill).
Ketuntasan Belajar, Sistem Penilaian, Pindah Madrasah dan Kriteria Kelulusan Ujian Nasional.
Revisi dan Pengembangan Kurikulum.
Kalender Pendidikan.
Pengembangan Silabus.
Uraian lebih jelas tentang cara kerja dalam penyusunan masing-masing dijelaskan pada uraian berikut.

A.    Pengembangan Dasar Pemikiran, Landasan, dan Profil Sekolah/Madrasah
Dasar pemikiran merupakan dasar-dasar yang dijadikan acuan pemikiran, sehingga diwujudkan dan dihasilkan dokumen KTSP yang akan diimplementasikan sesuai tuntutan standart mutu pendidikan nasional, global dan kondisi masing-masing  sekolah/madrasah. Dasar pemikiran penyusunan KTSP sekurang-kurangnya berisi tentang hal-hal berikut :
1.    KTSP dikembangkan dengan mengacu pada standart nasional pendidikan dan mencapai tujuan pendidikan nasional.
2.    Kesesuaian KTSP dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, sosial budaya masyarakat, kebutuhan dan potensi madrasah dan peserta didik.
3.    Prasyarat keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di sekolah/ madrasah.
4.    KTSP mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dan tantangan global.
Visi sekolah/ madrasah menunjukkan gambaran sekolah/ madrasah di masa yang akan datang (jangka panjang) yang diinginkan sekolah/ madrasah yang berorientasi ke depan dan dikembangkan bersama oleh seluruh warga sekolah, merupakan perpaduan antara langkah strategis dan sesuatu yang dicita-citakan. Dinyatakan dalam kalimat yang padat bermakna, dapat dijabarkan ke dalam tujuan dan indikator keberhasilannya, berbasis nilai dan membumi (kontekstual). Rumusan visi menggunakan kalimat keadaan dan perlu dijabarkan kedalam indikator-indikatornya, sehingga jelas apa yang dicita-citakan.
Misi merupakan tindakan/ upaya untuk mewujudkan visi sekolah/ madrasah yang telah ditetapkan tersebut. Misi merupakan penjabaran visi dalam bentuk rumusan tugas, kewajiban, dan rancangan tindakan yang dijadikan arahan untuk mewujudkan visi dengan berbagai indikatornya. Rumusannya selalu dalam bentuk kalimat yang menunjukkan „tindakan“, bukan kalimat yang menunjukkan “keadaan“ sebagaimana pada rumusan visi.
Tujuan dirumuskan secara logis, memerhatikan sebab akibat mempunyai indikator pengukuran keberhasilan serta dapat diverifikasi keberhasilannya. Cara menyusun rumusan tujuan yang baik dapat menggunakan kriteria SMART, yakni S = Specific (sangat jelas kualitas dan kuantitas hendak di capai), M = Measurable (dapat diukur), R = Realistic (dapat dilaksanakan), T = Time & Cost framed (mengandung perkiraan waktu & biaya). Sebagai contoh misalnya, pada tahun 2009, terjadi peningkatan skor UNAS minimal rat-rata ± 1,5 dari standart yang ada.

B.    Pengembangan Standar Kompetensi.
Kompetensi adalah kemampuan bersikap, berfikir, dan bertindak secara konsisten sebagai perwujudan dari pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang dimiliki peserta didik. Standar kompetensi adalah ukuran kompetensi minimal yang harus dicapai peserta didik setelah mengikuti suatu proses pembelajaran pada satuan pendidikan tertentu.
Uraian tentang standar kompetensi setidak-tidaknya berisi tentang :
- Standar Kompetensi Lulusan Sekolah/ Madrasah.
- Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran.
- Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran.
- Standar Kompetensi Dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran
- Diagram Pencapaian Kompetensi Lulusan Sekolah/ Madrasah
Didalam Permendiknas RI Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Pasal 1 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa : Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk satuan pendidikan dasar dan menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik. SKL tersebut meliputi standar kompetensi lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan menengah, standar kompetensi lulusan minimal mata pelajaran. Standar kompetensi lulusan (SKL) sekolah/ madrasah diadopsi dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
Adapun standar kompetensi lulusan mata pelajaran (SKL-MP) serta standar isi (standar kompetensi dan kompetensi dasar) mata pelajaran mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Nomor 22/2006 tentang Standar Isi.

C.    Pengembangan Struktur Kurikulum & Pengaturan Beban Belajar
Struktur kurikulum merupakan pola dan susunan mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Kedalaman muatan kurikulum pada setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan beban belajar yang tercantum dalam struktur kurikulum. Kompetensi yang dimaksud terdiri atas standar kompetensi lulusan. Muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri merupakan bagian integral dari struktur kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Pengembangan struktur kurikulum sekolah/ madrasah merujuk pada Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006. yang isinya tentang pelaksanaan Standar Isi, yang didalamnya juga ditetapkan struktur kurikulum pada masing-masing jenjang madrasah (MI, MTs, MA).
Pengembangan Struktur kurikulum sekurang-kurangnya menunjukkan tentang :
1)    Jurusan yang ada (untuk SMA/MA).
2)    Menunjukkan kelas dan semester.
3)    Memuat mata pelajaran yang dipersyaratkan oleh Standar Nasional.
4)    Alokasi waktu setiap semester.
5)    Memiliki waktu/ beban belajar lebih besar dari standar nasional.
6)    Menggambarkan perubahan yang dilakukan dalam alokasi waktu pada setiap semester dibandingkan dengan standar nasional.
7)    Memberikan keterangan tentang berbagai perubahan yang dilakukan.

1. SD/ MI
Struktur kurikulum SD/MI disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran dengan ketentuan sebagai berikut.
a.    Kurikulum SD/MI memuat 8 mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri. Sedangkan kurikulum MI berdasarkan surat edaran Dirjen Pendidikan Islam tentang  Pelaksanaan Standar Isi, memuat 9 atau 12 mata pelajaran karena ditambah Bahasa Arab atau 12 (PAI meliputi Alqur’an-Hadis, Akidah-Akhlak, Fiqih, dan SKI), muatan lokal, dan pengembangan diri.
b.    Muatan Lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.
c.    Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah.
d.    Substansi mata pelajaran IPA dan IPS pada SD/MI “IPA Terpadu“ dan “IPS Terpadu“.
e.    Pembelajaran pada kelas I s/d III dilaksanakan melalui pendekatan tematik, sedangkan pada kelas IV s/d VI dilaksanakan melalui pendekatan mata pelajaran.
f.    Jam pembelajran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum.
g.    Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 35 menit.
h.    Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu.
2. SMP/ MTs
Struktur kurikulum disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran dengan ketentuan sebagai berikut :
a.    Kurikulum SMP/MTs memuat 10 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri. Sedangkan kurikulum MTs berdasarkan surat edaran Dirjen Pendidikan Islam Tentang Pelaksanaan Standar Isi, memuat 11 mata pelajaran (ditambah mata pelajaran Bahasa Arab)
b.    Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan darerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.
c.    Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru.
d.    Substansi mata pelajaran IPA dan IPS pada SD/MI “IPA Terpadu“ dan “IPS Terpadu“.
e.    Jam pembelajran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. Satuan pendidikan memungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per-minggu secara keseluruhan.
f.    Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 40 menit.
g.    Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu.
3. SMA/ MA
Struktur kurikulum disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran. Pengorganisasian kelas-kelas pada SMA/ MA dibagi menjadi ke dalam dua kelompok, yaitu kelas X merupakan program umum yang diikuti oleh seluruh peserta didik, dan kelas XI dan XII merupakan Program penjurusan yang terdiri atas empat program : 1. Program Ilmu Pengetahuan Alam, 2. Program Ilmu Pengetahuan Sosial, 3. Program Bahasa, 4. Program Keagamaan, khususn untuk MA
a.    SMA/ MA Kelas X
1)    Kurikulum SMA/ MA kelas X terdiri atas 16 mata pelajaran.
2)    Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk pengembangan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada.
3)    Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yangg harus diasuh guru.
4)    Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagai mana tertera dalam struktur kurikulum. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran perminggu secara keseluruhan.
5)    Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 45 menit.
6)    Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu.
b.    SMA/ MA Kelas XI dan XIII
1)    Kurikulum SMA/ MA kelas X terdiri atas 13 mata pelajaran.
2)    Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk pengembangan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada.
3)    Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yangg harus diasuh guru.
4)    Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagai mana tertera dalam struktur kurikulum. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran perminggu secara keseluruhan.
5)    Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 45 menit.
6)    Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu.


D.    Konsep dan Lingkup Kegiatan Pengembangan Diri
Pengembangan diri adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah/ madrasah. Pengembangan diri diarahkan untuk pengembangan karakter peserta didik yang ditujukan untuk mengatasi persoalan dirinya, persoalan masyarakat di lingkungan sekitarnya, dan persoalan kebangsaan.
Kegiatan pengembangan diri sekurang-kurangnya memerhatikan antara lain :
1.    Pengembangan macam-macam kegiatan pengembangan diri mempertimbangkan minat dan bakat peserta didik.
2.    Pengembangan macam-macam kegiatan pengembangan diri mempertimbangkan sumber daya (SDM dan fasilitas atau sarana prasarana) yang dimiliki sekolah/ madrasah.
3.    Ada upaya yang jelas untuk penambahan dan peningkatan sumber daya guna memfasilitasi kegiatan pengembangan diri.
4.    Ada aturan yang jelas tentang macam-macam kegeitan  pengembangan diri yang harus dipilih oleh peserta didik.
5.    Ada kejelasan model pelaksanaan dan penilaiaannya.
6.    Pengembangan macam-macam kegiatan pengembangan diri mencerminkan pencapaian visi, misi dan tujuan sekolah/ madrasah
Ditinjau dari jenis kegiatannya, kegiatan pengembangan diri terprogram terdiri dari dua komponen, yaitu :
1.    Pelayanan Konseling yang meliputi :
•    Kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan bimbingan dan konseling yang dimaksudkan untuk membantu individu menilai kecakapan, minat, bakat, dan karakteristik kepribadian diri sendiri untuk mengembangkan diri secara realistik.
•    Kemampuan sosial, yaitu bidang pelayanan bimbingan dan konseling yang dimaksudkan untuk membantu individu menilai dan mencari alternatif hubungan sosial yang sehat dan effektif dengan teman sebaya atau dengan lingkungan sosial yang lebih luas.
•    Kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan bimbingan dan konseling yang dimaksudkan untuk membantu individu dalam kegiatan belajarnya dalam rangka mengikuti jenjang dan jalur pendidikan tertentu dan/ atau dalam menguasai suatu kecakapan dan keterampilan tertentu.
•    Wawasan dan perencanaan karir, yaitu bidang pelayanan bimbingan dan konselign yang dimaksudkan untuk membantu individu dalam mencari dan menetapkan pilihan karir serta pengembalian keputusan berkenaan dengan karir tertentu, baik karir yang sedang dijalani maupun karir di masa depan.
2.    Ekstrakurikuler
Kegiatan ekstrakulikuler adalah kegiatan pendidikan diluar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/ madrasah. Kegiatan ekstrakulikuler ini dapat dikelomppokkan menjadi beberapa jenis, yaitu :
•    Krida, meliputi kepramukaan, Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS), Palang Merah Remaja (PMR), Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (PASKIBRAKA).
•    Karya Ilmiah, meliputi Kegiatan Ilmiah Remaja (KIR).
•    Latihan/ Lomba keberbakatan/ Prestasi, meliputi pengembangan bakat olahraga, seni dan budaya, cinta alam, jurnalistik, teater, dll.
•    Seminar, Lokakarya, dan Pameran/ Bazar, dengan substansi antara lain karir, pendidikan, kesehatan, perlindungan HAM, keagamaan, seni budaya.

E.    Pengembangan Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill)
Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi lebih berorientasi pada upaya penyiapan para peserta didik yang cerdas kerja, siap pakai atau menjadi kuli di muka bumi, yakni siap untuk dipakai diperusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga lainnya. Untuk siap dipakai diperlukan special skill atau keterampilan/ keahlian khusus sesuai dengan konsentrasi studinya yang programnya dikembangkan dengan melibatkan para user, kelompok atau organisasi profesi atau stakeholders lainnya.
Karena itu, pengembangan KTSP tidak hanya dikembangkan dengan berbasis kompetensi tetapi juga dikembangkan dengan berbasis life skill. Kurikulum berbasis kompetensi dikembangkan bertolak dari analisis kebutuhan pekerjaan atau kemampuan untuk menjalankan tugas-tugas pekerjaan tertentu. Sedangkan kurikulum berbasis life skill dikembangkan bertolak dari kebutuhan, kemampuan, minat dan bakat dari peserta didik itu sendiri.
Pengembangan kurikulum berbasis life skill bertolak dari satu pandangan dasar bahwa pendidikan ditujukan untuk hidup, bukan sekedar untuk mencari kerja.
Life skill itu dapat dikelompokkan menjadi dua macam (Dinas Peendidikan Jawa Barat), yaitu :
Pertama, General Life Skill, yang mencakup :
1.    Personal skill atau self awareness, yang mencakup, a. Penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan, anggota masyarakat dan warga Negara., b. Menyadari kelebiha dan kekurangan serta mensyukuri segala nikmat yang diberikan kepadanya, sekaligus menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan.
2.    Thingking skill, yang mencakup ; a. Information searching atau kecakapan menggali dan menemukan informasi, b. Information processing anf decision making skill atau kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan, c. Creative problem solving skill atau kecakapan memecahkan masalah secara kreatif.
3.    Social Skill, yang mencakup : a. Kecakapan komunikasi dengan empati, b> Kecakapan bekerjasama.
Kedua Specific Life skill, yang mecakup :
1.    Academic skill, atau kemampuan berfikir ilmiah yang mencakup antara lain : a. Identifikasi variable, b. Merumuskan hipotesis; dan c. Melaksanakan penelitian.
2.    Vocational skill atau keterampilan kejujuran, yakni ketermapilan yang dikaitkan dengan pekerjaan tertentu yang terdapat di lingkungan atau masyarakatnya.

F.    Pengembangan Muatan Lokal
Muatan lokal dimaksudkan untuk mengembangkan potensi daerah sebagai bagian dari upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah/ madrasah, serta mengembangkan potensi sekolah/ madrasah sehingga memiliki keunggulan yang kompetitif. Muatan lokal bisa berbentuk  keterampilan bahasa, baik bahasa daerah maupun bahasa asing, keterampilan dalam bidang Teknologi Informasi, atau bentuk keterampilan tepat guna yang lain. Muatan lokal disajikan dalam bentuk mata pelajaran yang harus dipelajari oleh setiap peserta didik, sehingga harus memiliki kompetensi mata pelajaran, standar kompetensi dan kompetensi dasar.
Pemilihan muatan lokal dapat dilakukan dengan,
1.    Menganalisa kelayakan dan relevansi penerapan mulok di madrasah/ sekolah.
2.    Jika layak, maka mulok tersebut kemudian dikembangkan ke dalam bentuk Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mulok.
3.    Jika tidak sesuai maka madrasah/ sekolah dapat mengembangkan lagi mulok baru lebih sesuai atau melasanakan mulok bersama dengan madrasah/ sekolah lain atau menyelenggarakan mulok yang ditawarkan oleh departemen agama/ pendidikan.
Untuk mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Muatan Lokal dilakukan dengan ;
1.    Mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan daerah.
2.    Menentukan fungsi dan susunan tau komposisi mulok
3.    Mengidentifikasi bahan kajian mulok
4.    Menentukan mata pelajaran mulok
5.    Mengembangkan SK dan KD beserta silabusnya.
Dalam pengembangan muatan lokal perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.    Substansi yang akan dikembangkan, materinya tidak sesuai menjadi bagian dari mata pelajaran lain, atau terlalu luas substansinya sehingga harus dikembangkan menjadi mata pelajaran tersendiri.
2.    Meupakan mata pelajaran wajib yang diselenggarakan melalui pembelajaran intra-kurikuler.
3.    Bentuk penilaian kuantitatif
4.    Sekolah/ madrasah harus menyusun SK, KD dan Silabus untuk mata pelajaran Mulok yang diselenggarakan oleh sekolah.
5.    Substansinya dapat berupa program keterampilan produk dan jasa.
6.    Setiap sekolah/ madrasah dapat melaksanakan mulok lebih dari satu jenis dalam setiap semester, mengacu pada karakteristik program studi yang diselenggarakan di sekolah/ madrasah.
7.    Peserta didik boleh mengikuti lebih daru satu jenis mulok pada setiap tahun pelajaran, sesuai dengan minat dan kemampuan sekolah/ madrasah.
8.    Pembelajaran dapat dilakukan oleh guro mata pelajaran atau tenaga ahli dari luar sekolah/ madrasah yang relevan dengan substansi mulok.

G.    Pengembangan Ketuntasan Belajar, Sistem Penilaian, Pindah Sekolah, dan Kelulusan.
Untuk pengendalian system mutu pendidikan yang diprogramkan maka diperlukan acuan standar system penilaian sesuai tuntutan standar penilaian pendidikan nasional dan kondisi masing-masing sekolah dalam mengukur keberhasilan program yang  dikembangkan. Oleh karena itu, sekolah/ madrasah perlu menetapkan rambu-rambu kriteria standar ketuntasan belajar, system penilaian, pindah sekolah dan kriteria kelulusan sesuai kondisi lembaganya masing-masing.
1.    Ketuntasan Belajar
Ketuntasan belajar berisi tentang criteria dan mekanisme penetapan ketuntasan minimal permata pelajaran yang ditetapkan oleh sekolah/ madrasah dengan mempertimbangkan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
a.    Sekolah/ madrasah harus menetapkan ketuntasan belajar dengan mendasarkan pada peraturan yang berlaku dan kondisi nyata yang ada disekolah/ madrasah.
b.    Dengan mempertimbangkan kondisi diatas, dalam setiap awal tahun ajaran baru, guru (melalui forum guru serumpun) dapat menetaplan standar ketuntasan belajar minimal (SKBM) atau criteria ketuntasan minimal (KKM) dan harus diinformasikan kepada seluruh warga sekolah/ madrasah dan orang tua.
c.    Sekolah/madrasah dapat menetapkan batas/ standar ketuntasan belajar minimal di bawah nilai ketuntasan belajar minimum(100), dengan catatan sekolah/ madrasah harus merencanakan target dalam waktu tertentu untuk mencapai nilai ketuntasan belajar ideal.
d.    Penetapan nilai ketuntasan minimal dilakukan melalui analisis ketuntasan minimum pada setiap indicator, KD dan SK. Masing-masing dimungkinkan adanya perbedaan nilai ketuntasan belajar minimal dan penetapannya.
e.    Cara menetapkan KKM dapat ditempuh melalui langkah-langkah berikut :
•    Menetapkan criteria komponen yang dijadikan ukuran penetapan ketuntasan belajar minimal.
•    Menaksir criteria menjadi nilai. Dalam menentukan rentang nilai dan menentukan nilai dari setiap criteria guru kelompok mata pelajaran dapat menetapkan sendiri sesuai kondisi sekolah/ madrasah atau dapat membuat kesepakatan dalam forum MGMP untuk KKM yang menjadi standar minimal pencapaian hasil belajar per mata pelajran di daerah/ wilayahs sekolah/ madrasah tertentu.
2.    Sistem Penilaian
Sistem penilaian merupakan suatu prosedur dan criteria-kriteria penilaian yang diberlakukan di sekolah/ madrasah untuk menetapkan tingkat ketuntasan belajar dan kenaikan kelas peserta didik. System penilaian ini berfungsi untuk mengen dalikan proses dan hasil belajar peserta didik dalam mengimplementasikan kurikulum.
3.    Pindah Sekolah
•    Sekolah/ madrasah harus memfasilitasi adanya peserta didik yang pindah sekolah.
•    Untuk pelaksanaan pindah sekolah/ madrasah lintas Negara/ Provinsi/ Kabupaten/ Kota, dikoordinasikan dengan Dinas Pendidikan Propinsi/ Mapendis Kanwil Depag dan Kabupaten/ Kota setempat.
•    Sekolah/ madrasah dapat menentukan persyaratan pindah/ mutasi peserta didik sesuai dengan prinsip manajemen berbasis madrasah.
4.    Kriteria Kelulusan Ujian Nasional dan Ujian Sekolah/ Madrasah (Contoh di SMP/ MTs)
Seorang peserta didik dinyatakan lulus apabila memenuhi dua aspek, yaitu aspek akademik dan aspek non-akademik.
a.    Aspek akademik, meliputi :
•    Memiliki nilai rapor yang lengkap untuk kelas 1, 2, 3.
•    Telah memiliki nilai ujian untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan.
•    Tidak terdapat nilai ≤ 4,5 baik untuk ujian tulis maupun ujian praktek seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan nilai rata-rata Ujian Nasional maupun Ujian Sekolah/ Madrasah tidak boleh ≤ 5,00
b.    Aspek non-akademis, meliputi :
•    Nilai-rata-rata kepribadian (kelakuan, kerajianan dan kerapian) pada semester II kelas III minimal baik.
•    Kehadiran di sekolah/ madrasah pada semester I dan II kelas III minimal 9-% dari jumlah hari effektif.

H.    Revisi dan Pengembangan Kurikulum
Untuk menjaga reliabilitas dan validitas kurikulum yang dipakai perlu adanya aturan tentang revisi atau perubahan serta pengembangan kurikulum secara terarah. Adapun aturan-aturan perubahan tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Revisi Kurikulum  Tingkat Satuan Pendidikan.
2.    Pengembangan Kurikulum Satuan Pendidikan.
3.    Kendali Mutu Pelaksanaan Kurikulum.
4.    Kerja Sama/ Kemitraan (Implikasi KTSP)

I.    Pengembangan Kalender Pendidikan
Hal-hal yang perlu diperhatikan :
1.    Kalender pendidikan adalah pengaturan waktu untuk kegiatan pembelajaran peserta didik selama satu tahun ajaran yang mencakup permulaan tahun pelajaran, minggu efektif belajar, waktu pembelajaran efektih dan hari libur.
2.    Permulaan tahun pelajaran adalah waktu dimulainya kegiatan pembelajaran pada awal tahun pelajaran.
3.    Minggu efektif belajar adalah jumlah minggu kegiatan pembelajaran untuk setiap tahun pelajaran.
4.    Waktu pembelajaran efektif adalah jumlah jam setiap minggu, meliputi jumlah jam untuk setiap mata pelajaran termasuk muatan local, ditambah dengan jumlah jam untuk kegiatan pengembangan diri.
5.    Waktu libur adalah waktu yang ditetapkan untuk tidak diadakan kegiatan pembelajaran. Waktu libur dapat berbentuk jeda tengah semester, jeda antarsemester, libur akhir tahun pelajaran, hari libur keagamaan, hari libur umum, termasuk hari-hari besar nasional dan hari libur khusus.

J.    Pengembangan Silabus
Berdasarkan ketentuan Permen Nomor 19 Tahun 2005, daerah atau sekolah/ madrasah memiliki ruang gerak yang luas untuk melakukan modifikasi dan mengembangkan variasi-variasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan keadaan, potensi, dan kebutuhan daerah, serta kondisi siswa. Silabus dan RPP merupakan kurikulum yang secara acak langsung akan digunakan untuk memberikan perlakuan terhadap kelompok belajar peserta didik terterntu dan dalam kondisi tertentu. Karena itu Silabus dan RPP bersifat fleksibel, disesuaikan dengan peserta didik, dibutuhkan rekaman hasil pelaksanaan, serta dibutuhkan follow up atau tindak lanjut untuk dilakukan perbaikan/ penyesuaian atau peningkatan secara terus-menerus.
Silabus dan RPP merupakan wujud rencana professional ynag disusun dan dikembangkan para guru. Mengembangkaqn dan menyusun silabus merupakan tugas dan tanggung jawab professional setiap guru mata pelajaran. Silabus dan RPP yang baik akan dapat diimplementasikan secara tepat dan dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran secara terus menerus. Karena itu setiap guru dituntut memiliki kemampuan untuk mengembangkan silabus setiap mata pelajaran yang diampunya sesuai kondisi sekolah/ madrasah.

Tugas Kelompok Filsafat

Bab I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang
Genetika disebut juga ilmu keturunan, berasal dari kata genos (bahasa latin), artinya suku bangsa-bangsa atau asal-usul. Secara “Etimologi”kata genetika berasal dari kata genos dalam bahasa latin, yang berarti asal mula kejadian. Namun, genetika bukanlah ilmu tentang asal mula kejadian meskipun pada batas-batas tertentu memang ada kaitannya dengan hal itu juga. Genetika adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk alih informasi hayati dari generasi ke generasi. Oleh karena cara berlangsungnya alih informasi hayati tersebut mendasari adanya perbedaan dan persamaan sifat diantara individu organisme, maka dengan singkat dapat pula dikatakan bahwa genetika adalah ilmu tentang pewarisan sifat .Dalam ilmu ini dipelajari bagaimana sifat keturunan (hereditas) itu diwariskan kepada anak cucu, serta variasi yang mungkin timbul didalamnya.
Genetika perlu dipelajari, agar kita dapat mengetahui sifat-sifat keturunan kita sendiri serta setiap makhuk hidup yang berada dilingkungan kita. Kita sebagai manusia tidak hidup autonom dan terinsolir dari makhuk lain sekitar kita tetapi kita menjalin ekosistem dengan mereka. Karena itu selain kita harus mengetahui sifat-sifat menurun dalam tubuh kita, juga pada tumbuhan dan hewan. Lagi pula prinsip-prinsip genetika itu dapat disebut sama saja bagi seluruh makluk. Karena manusia sulit dipakai sebagai objek atau bahan percobaan genetis, kita mempelajari hukum-hukumnya lewat sifat menurun yang terkandung dalam tubuh-tumbuhan dan hewan sekitar. Genetika bisa sebagai ilmu pengetahuan murni, bisa pula sebagai ilmu pengetahuan terapan. Sebagai ilmu pengetahuan murni ia harus ditunjang oleh ilmu pengetahuan dasar lain seperti kimia, fisika dan metematika juga ilmu pengetahuan dasar dalam bidang biologi sendiri seperti bioselluler, histologi, biokimia, fiosiologi, anatomi, embriologi, taksonomi dan evolusi. Sebagai ilmu pengetahuan terapan ia menunjang banyak bidang kegiatan ilmiah dan pelayanan kebutuhan masyarakat.
Rekayasa genetika dalam arti paling luas adalah penerapan genetika untuk kepentingan manusia. Dengan pengertian ini kegiatan pemuliaaan hewan atau tanaman melalui seleksi dalam populasi dapat dimasukkan. Demikian pula penerapan mutasi buatan tanpa target dapat pula dimasukkan. Masyarakat ilmiah sekarang lebih bersepakat dengan batasan yang lebih sempit, yaitu penerapan teknik-teknik genetika molekular untuk mengubah susunan genetik dalam kromosom atau mengubah sistem ekspresi genetik  yang diarahkan pada kemanfaatan tertentu.
    Penggunaan Rekayasa Genetika atau Teknologi DNA rekombinan mendominasi ilmu genetika pada saat memasuki era baru yaitu pada akhir tahun 1970-an yang digunakan untuk menghasilkan bentuk-bentuk kehidupan baru yang tidak ditemukan di alam. Melalui teknologi ini, memungkinkan untuk memindahkan gen-gen dari mamalia ke dalam bakteri, menyebabkan mikroba itu menjadi pabrik-pabrik kecil untuk membuat (dalam jumlah yang relatif besar) protein-protein yang mempunyai kepentingan ekonomi seperti hormon (insulin, hormon pertumbuhan) dan interferon (protein limfosit yang mencegah replikasi berbagai virus). Protein-protein ini diproduksi dalam jumlah yang begitu sedikit dalam tubuh manusia, sehingga biaya untuk ekstraksi dan purifikasi dari jaringan sangat tinggi, jadi membatasi penggunaan medis dalam profilaksis (pencegahan) dan terapeutis (penyembuhan) penyakit. Melalui rekayasa genetika, dimungkinkan untuk memproduksi berbagai faktor pembeku darah, protein-protein komplemen (bagian dari sistem imun) dan substansi lainnya untuk memperbaiki penyakit-penyakit defisiensi genetik.
Namun banyak reaksi yang ditimbulkan masyarakat terhadap pemunculan rekayasa genetika ini, baik pro, kontra maupun tidak peduli. Untuk masyarakat awam, mereka tidak peduli apakah hasil dari rekayasa genetika seperti makanan yang dimakanannya produk transgenik apa tidak, asal menguntungkan, murah, dan isinya kurang lebih sama dengan produk yang bukan transgenik. Contohnya adalah kedelai. Negara kita mengimpor kedelai transgenik dari Amerika yang harganya cukup ekonomis di pasar, sehingga dijadikan bahan baku tempe dan tahu yang dikonsumsi sehari-hari. Dan juga dari buah-buahan impor di supermarket, boleh jadi ada diantaranya yang merupakan produk transgenik namun tidak diberi informasi mengenainya.
Untuk pemaparan lebih lanjut akan dibahas pada Bab selanjutnya.

1.2 Rumusan Masalah
    Hal-hal yang akan dibahas pada makalah ini adalah:
1.    Apa pengertian Rekayasa Genetika?
2.    Apakah tujuan Rekayasa Genetika?
3.    Bagaimanakah tahapan pembuatan Insulin?
4.    Apasajakah Penyebab Berkembangnya Rekayasa Genetika?
5.    Bagaimanakah Penerapan Rekayasa Genetika dalam kehidupan masyarakat?
6.    Apasajakah dampak dari Rekayasa Genetika?
7.    Apasajakah contoh-contoh dari Rekayasa Genetika tersebut?

1.3 Tujuan
    Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.    Menjelaskan pengertian Rekayasa Genetika
2.    Menjelaskan tujuan Rekayasa Genetika
3.    Menjelaskan tahapan pembuatan Insulin
4.    Menjelaskan penyebab berkembangnya Rekayasa Genetika
5.    Menjelaskan Penerapan Rekayasa Genetika dalam kehidupan masyarakat
6.    Menjelaskan dampak dari Rekayasa Genetika
7.    Memaparkan contoh-contoh dari Rekayasa Genetika tersebut













Bab II
Pembahasan

2.1 Pengertian Rekayasa Genetika
Rekayasa genetika merupakan transplantasi atau pencangkokan satu gen ke gen lainnya dimana dapat bersifat antar gen dan dapat pula lintas gen sehingga mampu menghasilkan produk. Rekayasa genetika juga diartikan sebagai perpindahan gen. Teknologi Rekayasa Genetika merupakan inti dari bioteknologi yang didefinisikan sebagai teknik in-vitro asam nukleat, termasuk DNA rekombinan dan injeksi langsung DNA ke dalam sel atau organel, atau fusi sel di luar keluarga taksonomi; yang dapat menembus rintangan reproduksi dan rekombinasi alami, dan bukan teknik yang digunakan dalam pemuliaan dan seleksi tradisional.
Prinsip dasar teknologi rekayasa genetika adalah memanipulasi atau melakukan perubahan susunan asam nukleat dari DNA (gen) atau menyelipkan gen baru ke dalam struktur DNA organisme penerima. Gen yang diselipkan dan organisme penerima dapat berasal dari organisme apa saja. Misalnya, gen dari sel pankreas manusia yang kemudian diklon dan dimasukkan ke dalam sel E. Coli yang bertujuan untuk mendapatkan insulin.

2.2 Tujuan Rekayasa Genetika
Rekayasa genetika pada tanaman mempunyai target dan tujuan antara lain peningkatan produksi, peningkatan mutu produk supaya tahan lama dalam penyimpanan pascapanen, peningkatan kandunagn gizi, tahan terhadap serangan hama dan penyakit tertentu (serangga, bakteri, jamur, atau virus), tahan terhadap herbisida, sterilitas dan fertilitas serangga jantan (untuk produksi benih hibrida), toleransi terhadap pendinginan, penundaan kematangan buah, kualitas aroma dan nutrisi, perubahan pigmentasi.
Rekayasa Genetika pada mikroba bertujuan untuk meningkatkan efektivitas kerja mikroba tersebut (misalnya mikroba untuk fermentasi, pengikat nitrogen udara, meningkatkan kesuburan tanah, mempercepat proses kompos dan pembuatan makanan ternak, mikroba prebiotik untuk makanan olahan), dan untuk menghasilkan bahan obat-obatan dan kosmetika.
2.3 Tahap Pembuatan Insulin
    Tahapan pembuatan Insulin adalah sebagai berikut:
1.    Bakteri yang masih mempunyai plasmid, plasmidnya dipotong dengan menggunakan enzim Restriksi Endonuklease
2.    Kemudian gen insulin dari sel pankreas juga dipotong dengan menggunakan enzim restriksi
3.    Lalu gen insulin ini di sisipkan pada plasmid bakteri dengan menggunakan enzim ligase sehingga disebut dengan ADN rekombinan
4.    Setelah itu ADN rekombinan itu dimasukkan ke dalam tubuh bakteri baru
5.    Bakteri dibiarkan berkembang biak dalam wadah fermentasi sehingga dihasilkan insulin.

2.4 Penyebab Berkembangnya Rekayasa Genetika
    Pada akhir tahun 1970-an, genetika memasuki suatu era baru yang didominasi oleh penggunaan teknologi DNA rekombinan atau rekayasa genetika untuk menghasilkan bentuk-bentuk kehidupan baru yang tidak ditemukan di alam.
Penyebab berkembangnya Rekayasa Genetika antara lain:
1.    Ditemukannya enzim pemotong DNA yaitu enzim restriksi endonuklease
2.    Ditemukannya pengatur ekspresi DNA yang diawali dengan penemuan operon laktosa pada prokariota
3.    Ditemukannya perekat biologi yaitu enzim ligase
4.    Ditemukannya medium untuk memindahkan gen ke dalam sel mikroorganisme
Sejalan dengan penemuan-penemuan penting itu, perkembangan di bidang biostatistika, bioinformatika dan robotika/automasi memainkan peranan penting dalam kemajuan dan efisiensi kerja bidang ini.

2.5 Penerapan Rekayasa Genetika
    Penerapan Rekayasa Genetika pada berbagai bidang, antara lain:
1. Bidang pertanian dan bahan pangan
- Ditemukannya tomat Flavr Savr yang tahan
- Ditemukannya sapi dengan produksi susu meningkat 20%
- Ditemukannya kopi super
- Ditemukannya tanaman ber-pestisida
- Ditemukannya vaksin penyakit mulut dan kuku
- Jagung dengan protein tinggi

2. Bidang kesehatan dan farmasi
- Diproduksinya insulin dengan cepat dan murah
- Adanya terapi genetic
- Diproduksinya interferon
- Diproduksinya beberapa hormon pertumbuhan

3. Bidang Industri
- Terciptanya bakteri yang mampu membersihkan lingkungan tercemar
- Bakteri yang dapat mengubah bahan tercemar menjadi bahan tidak berbahaya
- Bateri pembuat aspartanik

2.6 Dampak Rekayasa Genetika
a. Dampak di bidang sosial ekonomi
Dampak ekonomi yang tampak adalah paten hasil rekayasa, swastanisasi dan konsentrasi bioteknologi pada kelompok tertentu, memberikan pengaruh yang sangat luas pada masyarakat. Produk bioteknologi dapat merugikan petani kecil. Penggunakan hormon pertumbuhan sapi dapat meningkatkan produksi susu sapi sampai 20%, niscaya akan menggusur peternak kecil. Dominasi produksi pangan dunia oleh beberapa perusahaan.

b. Dampak di bidang kesehatan
Produk rekayasa di bidang kesehatan ini memang sudah ada yang menimbulkan masalah yang serius. Contohnya adalah penggunaan insulin hasil rekayasa menyebabkan 31 orang meninggal di Inggris. Tomat Flavr Savr diketahui mengandung gen resisten terhaap antibiotic. Susu sapi yang disuntik dengan hormone BGH disinyalir mengandung bahan kimia baru yang punya potensi berbahaya bagi kesehatan manusia. Kontroversi Produk Transgenik memiliki dampak terhadap kesehatan manusia: alergi, transfer penanda antibiotik, dan efek potensial yang tidak diketahui.

c. Dampak di bidang etika dan moral
Menyisipkan gen makhluk hidup kepada makhluk hidup lain memiliki dampak etika yag serius. Menyisipkan gen makhluk hidup lain yang tidak berkerabat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum alam dan sulit diterima manusia. Bahan pangan transgenic yang tidak berlabel juga membawa konsekuensi bagi penganut agama tertentu. Penerapan hak paten pada organism hasil rekayasa merupakan pemberian hak pribadi atas organism. Hal ini bertentangan dengan banyak nilai-nilai budaya yang mengghargai nilai intrinsic makhluk hidup. Kontroversi tanaman transgenik seperti pelanggaran nilai intrinsik organisme alami, melawan sistem alamiah karena mencampurkan gen berbagai spesies.
d. Dampak pada lingkungan
Dampak pada lingkungan: transfer gen yang tidak dikehendaki, penyerbukan silang, efek pada mikroba tanah, serta penyusutan keanekaragaman hayati flora dan fauna.

2.7 Contoh-contoh Rekayasa Genetika dab Berbagai Polemiknya dalam Masyarakat

1. Kloning dan berbagai polemik dalam masyarakat
Menjelang New Millenium, dunia dikejutkan oleh ditemukannya sebuah cara baru dalam hal proses berkembang-biaknya mahluk hidup. Proses kembang biak yang dikenal dengan istilah Kloning itu dinyatakan bisa menghasilkan anakan yang persis sama dengan induknya secara a-seksual (tanpa melalui pembuahan). Professor Jerry L. Hall, yang pertama berhasil melakukan percobaan Kloning. Konon, peneliti dari Washington University ini pernah membelah embrio manusia menjadi beberapa bagian, sampai masing-masing bagian tersebut berhasil dibiakkan menjadi embrio yang sama. Menyusul kemudian : Dr. Tim Cohen dari Inggris. Ia ditengarai berhasil “membantu” Maureen Ott melahirkan seorang anak perempuan yang dinamai Emma Ott, setelah sebelumnya melalui proses pengkloningan.
Disaat Dr. Ian Walmut, Direktur Tim Roslin Institute, mempublikasikan keberhasilannya dalam mengkloning sel kelenjar susu domba ras dorset asal Finlandia menjadi seekor domba normal, polemik yang sebelumnya hanya riak-riak kecil saja, berubah meluap ke permukaan. Polemik mengenai teknologi kloning itu semakin bertambah panas, ketika Dr. Martine Nijs, peneliti medik asal Belgia, mengaku telah berhasil mengkloning bocah kembar sejak tahun 1993. Menurut Nijs, ketika ia mempublikasikan hal tersebut, tepat pada 9 Maret 1997, klon bocah kembar itu masih terus mengalami masa pertumbuhan. Seperti yang terjadi pada Copernicus dan Galileo, reaksi masyarakat dunia begitu keras menyoroti dampak, serta mempertanyakan etika teknologi rekayasa genetika. Mayoritas masyarakat dunia memandang ide tersebut sebagai sesuatu yang buruk, rubbish, dan mencampuri wilayah otoritas Tuhan. “Teknologi kloning memperlihatkan betapa kita sudah kehilangan rasa hormat kepada makhluk hidup,”ujar Paus Yohannes Paulus II dalam The Washington Post. “Ada banyak makhluk hidup yang perlu dihormati, bukan hanya digunakan untuk memuaskan nafsu tertentu saja,” tambah Douglas Bruce, direktur Church Of Scotland, yang berlokasi di propinsi tempat diumumkannya penemuan domba kloning Dolly. Dan di Amerika Serikat, Gereja Katholik Detroit,  mengeluarkan press release dalam The Detroit News. “Manusia diciptakan dari citra Tuhan. Dan kloning hendak mengotorinya,” tulis pernyataan itu.
Sesaat setelah Gereja Vatikan Roma mengeluarkan kecaman atas upaya pengkloningan manusia yang marak dilakukan di negara-negara maju pasca publikasi Dr. Ian Walmut, opini masyarakat barat, khususnya Amerika dan Eropa, menunjukkan sentimen negatif. Hampir 90 % responden majalah Time, Newsweek, BBC, atau CNN Television, menabukan rekayasa genetika.  Masyarakat dunia pun masih tetap apriori terhadap teknologi kloning ini, kendati Advanced Cell Tecnology (ACT) Inc. dari Worcester, Massachusetts, Amerika Serikat, dalam percobaannya berhasil membiakkan sel tunas (sel stem) menjadi sel tertentu pengganti jaringan tubuh yang rusak sebab penyakit kronis. Meskipun pihak perusahaan bioteknologi itu berusaha meyakinkan masyarakat luas bahwasanya teknologi kloning bisa berguna untuk theurapeutic ( proses penyembuhan penyakit), dunia tetap memandang sinis terhadap ide rekayasa genetika tersebut.
Dari kalangan cendekiawan ataupun ulama-ulama dunia Islam, sikap kontra terhadap teknologi kloning inipun sempat mengemuka. Rata-rata mereka mengkhawatirkan keruntuhan institusi perkawinan dan putusnya rantai keturunan, jika teknologi kloning ini dinyatakan halal untuk diterapkan. “Keberhasilan kloning manusia akan mengakibatkan sendi kehidupan keluarga menjadi terancam hilang atau hancur. Oleh karena manusia yang lahir melalui proses kloning tidak dikenal siapa ibu dan bapaknya, atau dia adalah percampuran antara dua wanita atau lebih. Sehingga, tak diketahui siapa ibunya, dan akan sulit dilacak keberadaan bapaknya, ketika anak hasil pengkloningan itu membutuhkan salah satu dari figur ayah atau ibu, ataupun figur keduanya.
Disamping pendapat yang menentang, ada juga sebagian ulama dan kaum cendekiawan yang sangat antusias mendukung diterapkannya teknologi kloning. Salah satunya adalah Sayyid Muhammad Hasan Al-Amin. “Kalau kita berandai kloning diterapkan pada manusia, maka menurut hemat saya ia merupakan suatu keberhasilan yang besar dan agung untuk kemaslahatan manusia. Pandangan agama secara umum dalam hal ini sejalan dengan pandangan agama terhadap semua keberhasilan ilmiah yang besar dan yang dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Kita harus membedakan sisi moral, sosial, dan kemanusiaan dengan pandangan agama menyangkut teori ilmiah tentang kloning.”ujarnya. ”Agama tidak mungkin mengharamkan atau melarang ditemukannya satu teori ilmiah baru yang dapat mengantar kepada pengungkapan rahasia dari sekian banyak rahasia kehidupan, manusia, dan alam raya. Sebaliknya pun demikian. Karena, agama mengundang manusia untuk berpikir, mengamati, menganalisis, dan mengambil kesimpulan.” tambah ulama yang juga Hakim Agung di Mahkamah Tinggi al-Ja’fariyah Lebanon itu.
Hampir sepuluh tahun dunia berpolemik soal teknologi kloning. Sampai dengan Oktober 2008 tahun lalu, sidang Komite VI Majelis Umum PBB belum juga menetapkan larangan terhadap pencangkokan sel pada manusia. Ada dua draft resolusi yang satu sama lain memiliki perbedaan yang sangat signifikan, berkenaan dengan batasan larangan pengembangan kloning. Delegasi Costa Rica mengajukan draft resolusi yang melarang seluruh bentuk kloning, baik untuk tujuan reproduksi atau untuk maksud kesehatan. Menurut delegasi-delegasi negara pendukung draft resolusi tersebut, therapeutic cloning tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara etika. Prediksi mereka : akan ada penyimpangan dalam pengembangan kloning yang tidak bisa dikontrol sepenuhnya.  Lagipula, proses kloning tersebut hanya akan menguntungkan negara-negara besar saja.
Bertolak belakang dengan draft resolusi yang diajukan oleh delegasi Costa Rica, delegasi Belgia mengajukan draft resolusi yang mengijinkan kloning untuk maksud penelitian yang bakal berkontribusi untuk kesehatan (therapeutic cloning). Dengan pengawasan yang ketat, therapeutic cloning bisa dikembangkan demi menyelamatkan kehidupan manusia. “ Para penderita kanker, AIDS, parkinson, alzheimer bisa berharap banyak dari pengembangan kloning untuk maksud kesehatan.” demikian pendapat Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan.” Secara pribadi saya mendukung pengembangan therapeutic cloning.”ujarnya pula.
Menyimak berbagai polemik seputar teknologi kloning, ada kecenderungan mayoritas opini memberi dukungan pada pengembangan kloning untuk kesehatan (therapeutic cloning). Fatwa dari Majma’ Buhus Islamiyah Al-Azhar, yang berkedudukan di Kairo, Mesir, memberikan pengecualian untuk therapeutic cloning. Kendati fatwa yang ditanda-tangani oleh Syaikh Tanthawi itu kurang lebih berbunyi : ”kloning manusia itu haram dan harus diperangi serta dihalangi dengan berbagai cara.”, namun fatwa tersebut membedakan antara pengembangan kloning untuk maksud reproduksi pada manusia dengan pengembangan kloning untuk maksud pembaharuan terhadap organ tubuh manusia yang rusak. Jika kerusakan organ tubuh bisa diatasi dengan kloning,  maka dipersilahkan untuk menempuh prosedur tersebut. Sebab, fatwa itu menimbang : manfaatnya lebih besar daripada mudharatnya.
Terlepas dari pro dan kontra seputar rekayasa genetik pada manusia yang populer dengan istilah kloning itu,  sampai saat ini, belum ada ilmuwan yang berhasil mengkloning primata -kloning yang dianggap bisa menjadi jembatan menuju kloning manusia-  yang paling dekat susunan genetiknya dengan manusia. Prof. Gerald Schatten dari Pittsburgh University mengemukakan bahwasanya belum terdapat kemajuan berarti dalam proses kloning primata, kendati upaya kloning primata ini telah diujikan pada 700 sel telur monyet selama periode enam tahun ini. “Teknik kloning yang digunakan saat ini memusnahkan unsur protein dalam sel telur primata. Waktu nukleus sel telur diangkat untuk diganti dengan DNA sel lain, protein kunci malah ikut terangkat. Padahal protein tersebut sangat dibutuhkan demi keberlangsungan hidup embrio.” ucap Prof. Gerald Schatten, seperti dikutip oleh Harian Kompas. Keterangan itu menjelaskan kematian domba Dolly- yang dianggap monumental dalam Today History Of Science- pada 14 Februari 2003, karena Lung Disease yang parah.  Metode kloning yang diterapkan oleh Dr. Ian Walnut ketika mengkloning Dolly, domba ras dorset Finlandia itu, ternyata malah membuat sel telur primata cacat. Itulah sebabnya, tidak ada hasil kloning yang berumur panjang, yang sehat seratus persen, dan tidak mengalami kerusakan genetik.

2. Tanaman Transgenik dan Berbagai Polemik dalam Masyarakat
Produk-produk bioteknologi modern seperti tanaman pangan dan tanaman
industri, hewan-hewan hasil rekayasa genetika, bahan-bahan diagnostik,
vaksin dan antibodi, produk-produk olahan dari tanaman atau hewan
transgenik, telah menjadi komoditas baru untuk konsumen. Namun, sejak awal
perluasan budidaya tanaman/hewan transgenik dan perdagangannya sudah
menimbulkan polemik tentang keamanan produk-produk bioteknologi itu dari
segi kesehatan dan lingkungan, lebih-lebih terhadap keamanan keanekaragaman
hayati. "Sebagai ilmuwan, saya setuju dengan kemajuan ilmu, termasuk
bioteknologi modern. Namun, ilmiah saja tidak cukup karena diperlukan etika
yang memihak kepentingan orang banyak," kata Dr Hari Hartiko dari Pusat
Antar Universitas (PAU) Bioteknologi Universitas Gadjah Mada, dalam Diskusi
Pakar "Organisme/Pangan Hasil Rekayasa Genetika: Biarkan Konsumen Memilih" untuk memperingati Hari Hak-hak Konsumen Sedunia Tahun 2000.
            Menurut Hari Hartiko, kontroversi yang timbul tentang keamanan organisme/pangan transgenik terhadap kesehatan dan keamanan keanekaragaman
hayati disebabkan beberapa faktor, antara lain kurangnya familiarity
tentang bioteknologi modern, adanya kesenjangan kebenaran ilmiah, dan
perbedaan perspektif tentang konteks aman (safe), serta perbedaan
perspektif kepentingan dan lingkup aman. "Perlu diakui bahwa pada hakikatnya tidak ada teknologi tanpa risiko, walaupun demikian konsumen perlu tahu kemungkinan apa yang dapat terjadi apabila seseorang menggunakan teknologi atau produk teknologi itu. Saat ini justru dirasakan adanya ketidakterbukaan atau transparansi masalah pemanfaatan bioteknologi, produk bioteknologi dan produk ikutannya. Diungkapkan, jasad hidup produk rekayasa genetika mengandung gen asing, yang secara alami tidak ada di jasad hidup itu. Gen asing inilah yang
menentukan ciri/kemampuan baru jasad transgenik terkait. Contohnya, bakteri
Bacillus thuringiensis yang mengandung gen cry yang menghasilkan racun,
apabila berada di saluran pencernaan serangga akan mematikan serangga. Bila
gen cry ini disisipkan dengan teknologi rekayasa genetika ke tanaman padi,
jagung, kedelai, kentang, kacang dan kapas, maka tanaman-tanaman tersebut
akan menghasilkan racun yang mampu membunuh serangga, sehingga tanaman tadi akan bebas dari serangan hama dan tidak memerlukan lagi pestisida.
Namun, keberadaan gen cry pada serbuk sari tanaman transgenik juga mampu
membunuh serangga lain, seperti serangga penyerbuk yang bukan hama. Hal ini
tentu mengganggu kelangsungan hidup tumbuhan lain yang menggantungkan
penyerbukan oleh serangga. Kalau hal ini benar-benar terjadi, akan
mengganggu ekosistem alam yang ada," ujar Hari Hartiko.

Sementara itu Dr Kartika Adiwilaga, Manager Bioteknologi Regional Asia
Tenggara PT Monagro Kimia menyatakan bahwa dibandingkan pemuliaan tanaman konvensional, maka pemuliaan tanaman dengan rekayasa genetika terbukti lebih cepat dan tepat untuk menciptakan tanaman pangan dengan sifat-sifat yang dikehendaki. Hal ini dapat menjawab kebutuhan pangan akibat
pertumbuhan penduduk dunia. Sederet Kontroversi Produk Transgenik:
1.    Dampak terhadap kesehatan manusia: alergi, transfer penanda antibiotik, dan efek potensial yang tidak diketahui.
2.    Dampak pada lingkungan: transfer gen yang tidak dikehendaki, penyerbukan silang, efek pada mikroba tanah, serta penyusutan keanekaragaman hayati flora dan fauna.
3.    Pelanggaran nilai intrinsik organisme alami.
4.    Melawan sistem alamiah karena mencampurkan gen berbagai spesies.
5.    Dominasi produksi pangan dunia oleh beberapa perusahaan.

Mini Riset ku

PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah
    Zat gizi yang lengkap dalam menu makanan yang sehat dan seimbang memenuhi syarat empat sehat lima sempurna. Dalam susunan menu tersebut sayuran merupakan salah satu komponen yang tidak dapat ditinggalkan. Itulah sebabnya manusia menanam berbagai jenis sayuran untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
    Sayuran merupakan produk pertanian yang dikonsumsi manusia dengan pengolahan yang minimal. Sayuran memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi, dan dapat menyembuhkan berbagai penyakit, tergantung sayuran tersebut.
    Warsito (1991:22) menyatakan bahwa, “Diantara tanaman sayur-sayuran yang mudah dibudidayakan adalah sawi. Sayuran sawi adalah tanaman semusim yang termasuk kedalam family Cruciferae. Sawi merupakan jenis sayuran penting dalam pembinaan kesehatan manusia, karena mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh”.
    Sawi merupakan jenis sayuran yang mempunyai nilai komersial dan prospek yang cukup baik. Produksi sawi terus meningkat dalam 5 tahun terakhir secara nasional yaitu 454.815 ton pada tahun 2000 menjadi 548.456 ton pada tahun 2005 (Haryanto : 2002).
    Oleh karena itu tumbuhan memerlukan air untuk menunjang kehidupannya. Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan, demikian pentingnya sehingga tidak mungkin ada kehidupan tanpa air. Beberapa reaksi di dalam tumbuhan yang melibatkan air secara langsung sebagai komponen reaksi adalah fotosintesis dan perombakan asam lemak. Selain berperan dalam pelaksanaan reaksi biokimia, air memiliki fungsi-fungsi lainnya seperti dalam protoplasma, sistem hidrolik, sistem angkutan, stabilitas dan pemindahan panas.


















LANDASAN TEORITIS

2.1 Botani Tanaman Sawi
2.1.1 Klasifikasi
Tanaman sawi merupakan tanaman semusim yang memiliki ciri khas yaitu berdaun lonjong, tidak berbulu, dan tidak berkrop. Tanaman sawi ditunjukkan pada gambar 2.1.
Menurut Haryanto dkk. (2002:09), “Tanaman sawi diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisio        : Spermatophyta
Sub Divisio    : Angiospermae
Kelas         : Dicotyledoneae
Ordo        : Rhoedales (Brassicales)
Familia         : Cruciferae (Brassicaceae)
Genus        : Brassica
Spesies        : Brassica juncea L.


Gambar 2.1. Tanaman sawi 
(Sumber : Koleksi pribadi)
2.1.2 Morfologi
    2.1.2.1 Akar
Menurut Rukmana (1994:36), “Tanaman sawi memiliki akar tunggang dan cabang-cabang akar yang bentuknya bulat panjang dan menyebar ke semua arah pada kedalaman 30-50 cm. Akar-akar ini berfungsi untuk menyerap air dan unsur hara dari dalam tanah serta menguatkan berdirinya batang tanaman”.

2.1.2.2 Batang
    Rukmana (1994:40), “Tanaman  sawi memiliki batang pendek, yaitu berkisar antara 10-15 cm, beruas-ruas dan mempunyai sebagai alat penopang daun”. Batang tanaman sawi ditunjukkan pada gambar 2.2.

2.1.2.3 Daun
    Menurut Haryanto dkk. (1998:11), “Pada umumnya daun-daun sawi bersayap atau lebar memanjang, yaitu berkisar antara 16-20 cm, tipis dan berwarna hijau. Tangkai daunnya panjang yang berkisar antara 10-15 cm, langsing dan berwarna putih kehijauan”. Daun tanaman sawi ditunjukkan pada gambar 2.2.

Gambar 2.2. Daun dan Batang tanaman sawi
(Sumber : Anonimus, 2009)

2.1.2.4 Bunga
    Bunga tanaman sawi tergolong bunga sempurna dengan tipe recemosa yaitu bunga mekar dimulai dari bawah keatas (Warsito, 1985:60).
    Struktur bunga tanaman sawi tersusun dalam tangkai bunga, tumbuh memanjang dan bertangkai banyak. Tiap kuntum bunga terdiri atas empat helai daun kelopak, empat helai daun mahkota berwarna kuning cerah, empat helai benang sari dan satu buah putik yang berongga dua (Rukmana, 1994:45). Bunga tanaman sawi ditunjukkan pada gambar 2.3.
   

Gambar 2.3. Bunga Sawi
(Sumber : Anonimus, 2009)

2.1.2.5 Buah dan Biji
    Buah sawi bentuknya memanjang dan berongga, berisi 2-8 butir biji yang berbentuk bulat berwarna coklat atau dan berongga, berisi 2-8 butir biji yang berbentuk bulat berwarna coklat atau coklat kehitam-hitaman dan berukuran kecil. Permukaannya licin dan mengkilap dan agak keras (Rukmana, 1994:47). Biji tanaman sawi ditunjukkan pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Biji Sawi
                    (Sumber : Anonimus, 2009)
2.2 Syarat Tumbuh Tanaman Sawi
    2.2.1 Iklim
Tanaman sawi termasuk tanaman sayuran yang tahan terhadap hujan, sehingga tanaman ini dapat ditanam sepanjang tahun. Waktu bertanam yang baik adalah pada akhir musim hujan (Sunaryono, 1984:140).
Selanjutnya Haryanto dkk. (2002:25), menyatakan bahwa pada musim kemarau, jika penyiraman dilakukan dengan teratur dan air yang cukup, tanaman ini dapat tumbuh baik.
Tanaman sawi dapat ditanam didataran tinggi maupun dataran rendah, namun lebih banyak diusahakan pada dataran rendah yaitu pekarangan, di ladang atau disawah dan jarang diusahakan didaerah pegunungan (Nazaruddin, 1995).
Sumaryono (1984:120) menyatakan bahwa, “Daerah penanaman yang cocok adalah dari ketinggian tempat 5-1200 m diatas permukaan laut, dan biasanya tanaman ini dibudidayakan pada daerah yang memiliki ketinggian tempat 100-500 m diatas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 1000-1500 mm per tahun, suhu udara 15-29 0C serta penyinaran matahari antara 10-13 jam per hari dan kelembaban udara antara 60-100%”
.
2.2.2 Tanah
Tanaman sawi dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang gembur, banyak mengandung humus, subur dan drainasenya baik, seperti jenis tanah Andosol. Penggemburan tanah dapat menciptakan kondisi lahan yang dibutuhkan agar mampu tumbuh dengan baik. Tanah yang digemburkan mula-mula harus dibersihkan dari bebatuan, rerumputan, semak (Nazaruddin, 1995:118).
Derajat keasaman (pH) yang optimum untuk pertumbuhan tanaman sawi yaitu berkisar antara 6-7 (Haryanto dkk., 2002:25).

2.2.3 Biologis
    Gardner (1991:249) menyatakan bahwa, “Faktor biologis yang mempengaruhi tanaman sawi yaitu keberadaan gulma, serangga, organisme penyebab penyakit, nematode, macam-macam tipe herbivora, dan mikroorganisme tanah, seperti bakteri pemfiksasi N2 dan bakteri denitrifikasi, serta mikorhiza (asosiasi simbiotik antara jamur dengan akar tanaman)”.

2.3 Pertumbuhan Tanaman
Pertumbuhan adalah suatu perkembangan yang progresip dari suatu organisme. Selanjutnya menurut Gardner (1991:247-248), “Dalam arti sempit pertumbuhan berarti pembelahan sel (peningkatan jumlah) dan pembesaran sel (peningkatan ukuran), kedua proses ini memerlukan sintesis protein dan merupakan proses yang tidak dapat berbalik.”
Pertumbuhan dapat ditujukan terhadap perkembangan satu atau beberapa organ atau seluruh tanaman dan dapat dinyatakan dalam berat, panjang, tinggi ataupun diameter. Pertumbuhan tanaman ditentukan oleh faktor dalam tanaman dan faktor lingkungannya. Ada 7 faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman yaitu ; temperatur, sinar matahari, CO2, curah hujan, penggenangan, badai yang hebat dan ketinggian diatas permukaan laut. Faktor-faktor luar (lingkungan) yang mempengaruhi pertumbuhan adalah ketersediaan mineral, kadar air, dan udara didalam tanah, kelembaban udara dan lamanya penyinaran serta suhu. Proses fotosintesis dan evapontranspirasi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan efektifitas dalam memanfaatkan tenaga matahari, ketersediaan CO2 dan sebagainya (Anonimus, 2009).
Total periode pertumbuhan tanaman adalah jumlah hari dimulai dari penanaman sampai hari akhir pemanenan. Biasanya periode pertumbuhan tanaman sangat bergantung pada keadaan-keadaan lokal dimana tanaman tersebut tumbuh, sehingga penting sekali untuk mendapatkan data-data tersebut. Pada tanaman sayuran cocok dengan keadaan kelembaban yang cukup, apabila kelembaban udaranya atau kelembaban tanah yang kurang menyebabkan pertumbuhan tanaman kurang baik atau bahkan mati. Sebaliknya apabila kelembaban cukup tinggi, sedangkan antara penguapan dan penghisapan air seimbang pertumbuhan akan lebih cepat.

KUrikulum In English

BAB I
INTRODUCTION

I. 1. The Background of The Study
        Cognitive aspect is one of the items of assessment system which consists of three aspects; the others are psychomotor and affective. It talks about individual development, thinking process, or learning process. In psychology field, the process of learning and acquisition are discussed in psychology cognitive which is well known as cognitive development.
        Cognitive style or thinking style is a term used in cognitive psychology to describe the way individuals think, perceive and remember information, or their preferred approach to using such information to solve problems. Cognitive style differs from cognitive ability (or level), the latter being measured by aptitude tests or so-called intelligence tests. Controversy exists over the exact meaning of the term cognitive style and also as to whether it is a single or multiple dimension of human personality. However, it remains a key concept in the areas of education and management. If a pupil has a similar cognitive style to his/her teacher, the chances that the pupil will have a more positive learning experience is said to be improved. Likewise, team members with similar cognitive styles will probably feel more positive about their participation in the team. While the matching of cognitive styles may make participants feel more comfortable when working with one another, this alone cannot guarantee the success of the outcome.
        There is any relationship between cognitive levels matching as an in-service educational program designed and curriculum analysis to determine students’ abilities. Furthermore , the relationship is explained in this paper.

I. 2. The Problems of The Study
a.    What is Cognitive Levels Matching?
b.    What is Curriculum Analysis?
c.    What is the relationship of Cognitive Levels Matching and curriculum analysis?


I. 3. The Significances of The Study
a.    The students understand about Cognitive Levels Matching.
b.    The students understand about the definition and functions of curriculum.
c.    The students master the relationship of Cognitive Levels Matching and curriculum analysis. 
   








































BAB II
DISCUSSION

II. 1. Cognitive Levels Matching (CLM)
    Cognitive Levels Matching (CLM) concerns on its broadest sense to teachers’ ability to employ both formal and informal assessments to determine students’ cognitive levels.  In order to implement this in-service program designed, the teachers need to know about cognitive developmental principles and the methods of cognitive assessment.

a.    Cognitive Developmental Principles
Principally, coginitive development is a field of study in neuroscience and psychology focusing on a child's development in terms of information processing, conceptual resources, perceptual skill, language learning, and other aspects of brain development and cognitive psychology. A large portion of research has gone into understanding how a child conceptualizes the world.
The description of the general tendencies of cognitive development moves from being dependent on actions and perception in infancy to understanding of the more observable aspects of reality in childhood to capturing the underlying abstract rules and principles in adolescence. Moreover, many of the phenomena that is discovered, such as object permanence in infancy and the conservations in school age children, are real and still attract the interest of researchers.

b.    Cognitive Assessment
A cognitive assessment is an examination conducted to determine someone's level of cognitive function. There are a number of reasons to perform a cognitive assessment, and this test can be administered by a mental health professional, neurologist, or education professional, depending on how it is to be used. Several standardized cognitive assessments have been published, and people can also develop their own, mixing and matching elements of various tests which can be used to measure cognitive ability.

Examples of cognitive assesment are numerous in literature; such like the teacher asks students what Amstrong meant with his writing,”Cabin quiet was long and sad” ( 1972). The teacher recognizes that student must comprehend the imaginary relationship and comparison the writer has created. The ability of understanding this analogy or metaphor involves transposing the qualities of people, time, and cabins. Determining this comparison requires the students to first organize and classify the information and then reason propotionally. Therefore, the coginitive demands require the use of the schemata classification and propotional reasoning.
In social studies, for example, suppose an 8th grade history teacher discucces the concept of tariff. The teacher’s goal is to eanable students to comprehend the definition of tariffs and the factors why they can be a source of revenue for the government. The cognitive schemata for comprehending tariffs and related concepts include:
1.    Classification (qualities and attributes of terms sucha as import, export, free trade, tariff, foreign trade, and revenue).
2.    Coordination of two or more reference systems (comprehending the sysmmetrical relationships that exist in free trade, international trade, reciprocal trade agreement, and government revenues).
3.    Conservation beyond direct verification (understanding the balance of trade and payment).
4.    Propotional reasoning (understanding the relationship of taxes to quantity, rates, and needs of country).
5.    Correlational reasoning (developing an awareness of kinds of tariffs, their purposes, and how they are leveled).
Science courses also can be measured in way of cognitive assessment. As an example, the comprehension of the concept of photosynthesis as related to physical light, chemical structure and reaction, diffusion, and the biochemical basis of orgamistic activities, needs formal logical reasoning because it presupposes that students are able to use the following processes:
1.    Classification, to comprehend the attributes of terms such as chlorophlasts, molecules, energy related to work, wavelenghts, photosynthesis, glucose, chlorophyl, and electromagnetic radiation.

2.    Correlational reasoning, to comprehend the causal relationships between white light and the band of colored light, and CO2 and blue/yellow bromthymol.
3.    Combinatorial reasoning, to recognize what is required in plants for photosynthesis to take place, the types of lights essential for plant growth, and activities that are necessary for plants to produce sugar or starch.
4.    Propotional reasoning, to understand the number of chloroplasts in each of cell and the quantities and the substances necessary for photosythesis.
5.    Conservation beyond direct verification, to deduce and verify the consequences of chlorophyll’s reaction to white light.   

II. 2. Curriculum Analysis
a.    Definition
One of the important components in the educational system is curriculum which is used as the basic of management, implementation and evaluation of the result of the study.
In formal education, a curriculum is the set of courses, and their content, offered at a school or university. As an idea, curriculum stems from the Latin word for race course, referring to the course of deeds and experiences through which children grow to become mature adults. A curriculum is prescriptive, and is based on a more general syllabus which merely specifies what topics must be understood and to what level to achieve a particular grade or standard.
A curriculum may also refer to a defined and prescribed course of studies, which students must fulfill in order to pass a certain level of education. For example, an elementary school might discuss how its curriculum, or its entire sum of lessons and teachings, is designed to improve national testing scores or help students learn the basics. An individual teacher might also refer to his or her curriculum, meaning all the subjects that will be taught during a school year.
Curriculum analysis concerns with concepts, planning, implementations and evaluation curriculum.


b.    Function
Curriculum which means two things the range of courses from which students choose what subject matters to study, and a specific learning program is analyzed to fulfill the aim of education that has been determined before. In the latter case, the curriculum collectively describes the teaching, learning, and assessment materials available for a given course of study.

II. 3. The Relationship between Cognitive Levels Matching and Curriculum Analysis
    Recently years, Coginitive Levels Matching is restructured as learned about the relationship of developmental perspective to the teaching/learning process. One major component teachers have to focus on is cognitive assesment of the curriculum. The assessment of cognitive demands of curriculum is able to do with deciding the concept or task which is used to present and then recognizing the steps involved in the presentation. After all, the cognitive schemata is recognized but may initially is refered to the Concrete and Formal Stage Concepts table for assistance in determining the schemata necessary for understanding the thinking concept or task requires. It is shown in the table below:  

Concepts Associated with the Concrete and Formal Stages

CONCEPT DEFINITION    ASSESSMENT    EXAMPLE
Simple classification:
the ability to spontaneously group objects by one attribute and be able to shift to another attribute and regroup the same objects.    Attribute blocks- make groups that are the same, go together or are alike in some way.      1. Finding the ‘short e’ and ‘long e’ words in a list.
2. Classifying animals as meat eating or non-meat eating.
3. Discussing how two pictures of patterns are alike and how they are different.

Two-way classification:
The ability to simultaneously coordinate two attributes of objects and group objects by that coordination.
    Matrices: apple/flower; circle/square Venn diagrams;
‘I-shaped’ classification task.    1. Comprehending similes.
2. Applying a grammatical rule that has two conditions.

Three-way classification:
the ability to understand and coordinate three attributes of objects and group objects that share three attributes.
    Matrices: shape/color/direction.     1. Identifying countries that have the same three natural resources.
2. Grouping words.
Class inclusion: the ability to understand and coordinate, in a hierarchical sense, part-whole relationships.     Flowers (plastics vs. colors); blocks (wooden vs. colors); cards (animals vs. types).    1. Fractions.
2. Recognizing the main idea of aparagraph.
3. States and capitals.
4. Missing addends.

Simple Seriation: the ability to order a set of objects along some relevant dimension such as size.    Sticks of graduated sizes.
Stacking cups.
People pieces.    1. Getting line according to size.
2. Putting events in a story in order.

Double Seriation: the ability to order one set of objects according to some relevant dimension and to order a second set of objects along a relevant dimension in relation to that set of objects.    Cups ordered by size and in relation to sticks, which are also ordered by size or some other dimension.     1. One-to-one correspondence.
2. Copying words from the board to paper.
3. Alphabetical order.
       
Number of Conservation: recognizing that the property of number does not change in relation to a set of objects regardless of how those objects are arranged as long as no operation (+, - ) is performed on them. (The operation of reversibility supports this understanding.)    Two rows of 8-10 blocks, which are set up in 1-1 correspondence and then one row is pushed together.    1. Basic addition and subtraction facts.
2. Different representations of the same number.







Quantity Conservation: recognizing that the property of quantity does not change… (as above).    Two balls of clay; the size of a ball is changed after child establishes that both balls have the same amount of clay.
    1. Pouring coke into different sized of glasses.
2. Distributing materials.

Length Conservation: recognizing that the property of objects called length does not change… (as above). (The operation of compensation also supports this concept.)    Two pipes cleaners of equal length. Displacement of one of the pipe cleaners or the furling up of one.


    1. Concept of units of measure.
2. Distances of cities and countries from each other.
3. Number lines and time lines.
Weight Conservation:
the ability to recognize that weight does not change when the shape and the form of an object is altered unless the object is operated on by addition or subtraction. Requires the operation of compensation.    Two balls of clay, a pan balance. Establish equivalence and then alter the shape of one ball so that it ‘feels’ lighter.     1. Scientific concepts of density, mass, and gravity.
2. The solar system.
3. Stress on bridges, and so on.
Volume Conservation:
the recognition that volume does not change even if the form of an object is changed, unless it is operated on. Requires multiplicative compensations-namely, even though the form of the object is changed, what the volume gains or loses in one dimension is compensated for by what it gains or loses in the other two.
    Two cylinders of equal size, one of brass, the other of aluminums; and two breakers of water with equal water levels.
The islands problem with two sets of blocks.
Clay balls with the two beakers of water.    1. Interior and exterior volume.
2. Displacement of volume.
3. Mathematical understanding of volume.
4. Analysis closed systems. A change in one part of the system affects all other parts.






Formal Scheme – Multiplicative compensations
    Same as above    Same as above
5. Centrifugal force.
Formal scheme-Probability:
the ability to develop a relationship between confirming and possible cases, with both beginning to be calculated as a function or the combinations, permutations, or arrangements compatible with the given elements.
    Five red, five blue, and five yellow beads in open box.    1. Figuring the odds in a game of chance.
2. The likelihood that a particular political event will occur given several preconditions.



BAB III
CONCLUSION

    Based on the discussion of the relationship between Cognitive Levels Matching and curriculum analysis, we can conclude that the teachers as responsible educational leaders have to master three factors which influence cognitive ability of student. First, the teachers need to understand every principles of cognitive development. Secondly, the teachers must master the method of assessing students’ cognitive abilities. Thirdly, the teachers are capable of developing the ability to analyze and modifying the cognitive demands of school-based experiences.
    Cognitive Levels Matching concerns with increasing the students’ cognitive abilities which are assessed by cognitive assessments and shown in schemata.
    And curriculum analysis is related to cognitive levels using to fulfill the aim of education program.   
        


























REFERENCES

Arlin, P.K. “Plagetian Operations in Problem Finding.” Developmental Psychology 13 (1977): 297-298.

Amstrong, W.H. Sounder. New York: Harper and Row, 1969.

Elkind, D. Child Development and Education. New York: Oxford University Press, 1976.

Inhelder, B. and Plaget, J. The Growth of Logical Thinking from Childhood to Adolescence. New York: Basic Books, 1998.